seorang erika di depan kamera yang ternyata lepas dari kejadulan

seorang erika di depan kamera yang ternyata lepas dari kejadulan

Sabtu, 19 Januari 2013


TERLAMBAT

                       Oleh    : Erika Ratnaningrum 

Suasana hatiku geram bertanding dengan butiran soal. Tangan dan jari – jariku mengepal keras pensil di tangan kanan. Mataku menyorot setiap kalimat bak pisau alumunium yang diasah kerap. Sesekali kaki bergoyang menyentuh meja. Alat pengeras mungil di ujung ruangan, memperlihatkan fungsinya. Salah seorang guru mengumumkan lelayu yang membuat jidatku mengkerut, mataku mengecil dan tanda tanya besar bersarang di atas jilbab yang kukenakan pada hari yang penuh kewajiban itu.

Terdengar pengumuman yang menyebut nama yang tak asing dalam telingaku, kuberfikir aku mengenal dekat pemilik nama tersebut, memang belum terhitung lama aku kenal dengan sosok itu, tapi Ayahandaku telah membawa namanya melekat ke dalam hatiku. Namun, ternyata hal itu tak berlangsung lama dalam kehidupanku, Tuhan yang menguasai langit, bumi beserta isinya memanggil beliau untuk menghadap-Nya. Takdir hidup dan mati ada dalam kuasa-Nya .

Kewajiban setiap umat manusia untuk berbagi dan memiliki rasa prihatin tinggi. Begitu pula aku terapkan dalam hari – hariku, aku menyisihkan uang berharga yang tidak bernilai tinggi untuk takziah. Dengan badan gemetar aku menyelesaikan tugas setengah hari. Kubergegas menuju pintu gerbang sekolah dengan kondisi tubuh menganga bak api yang membara. Kupandangi ujung halaman nan menghampar luas itu. Di bawah pohon tepat, anak – anak teman seperjuangan putri dari almarhum berkumpul, mereka membentuk lingkaran yang kerap kali tampak terlihat sempurna. Raut wajah mereka menarik hatiku untuk larut dalam suasana haru. Kuberdiri di sudut ruang kecil dan sesekali menghela nafas. Kubergegas keluar setelah kutatap dari jauh tampak raut wajah Ayahandaku. Dengan sepeda motor yang tidak terhitung lawas, aku telusuri jalanan penghubung desa menuju kampung halaman tercinta.
Sesampainya di rumah yang tidak begitu megah dan tidak tampak mewah, aku mengucap salam. Tak ada sesosok pun ku jumpai. Ibunda tidak ada disetiap lorong ruang di kediamanku itu, ku bertanya kepada Ayah ternyata Ibunda tengah melayat. Sama persis siapa orang itu, dia adalah nama yang kudengar berita duka di sekolahku. Aku terpojok lemas di kursi teras, berfikir sejenak. Aku kecewa tidak dapat berbela sungkawa secara langsung di hadapan keluarganya. Meski bagiku mereka bukan keluarga besarku, namun jasa dan pengabdian beliau untuk keluarga besarku tak terbatas ruang dan waktu. Untuk itu hasratku memberi penghormatan terakhirnya semakin gencar. Kudengar sepeda motor Ibunda di plataran depan rumah tanteku, kuberlari dengan tenaga yang belum sempat aku isi kembali sebelumnya dan aku merengek kepada Ibu agar beliau menungguiku, ibu memaklumiku dan mengurungkan niatnya untuk melayat bersama ibu – ibu PKK,  aku pun berjanji kepadanya untuk mengendari sepeda motor sendiri.

Jarum panjang menempelkan tubuhnya tepat di angka 12, begitu pula dengan si jarum pendek. Aku bergegas melaksanakan ibadah menyembah Alloh SWT. Beberapa menit kemudian, pakaian hitam legam kukenakan, kurapikan helai demi helai rambut dan kusatukan dengan kuciran marmut, kuselubungi permukaan dengan kain gelap segitiga, ku terjaga dari kursi rias dan kumasukkan ke dua alat berjalanku ke dalam alasnya.

Siang itu begitu cerahnya. Sang raja siang tepat di atas kepala, menyengat-nyengat kulit tubuhku. Kunyalakan mesin sepeda motor dan kuawali perjalanan bersama Ibunda. Kuberjalan dengan kecepatan semut, berharap disana upacara pemberangkatan berlangsung atau malah sudah dikebumikan. Tanpa aku duga sebelumnya, kudapati rombongan memikul keranda berhias bunga dari kejauhan yang membuatku heran. Astaghfirullohalazim, aku menghentikan perjalanan tepat di pinggir sawah, tanpa menatap, jantung berdegup dan tubuh gemetar, kurasa keadaan ini sangat mencekam dan begitu melawan rasa keberanianku. Kuberharap rombongan itu segera lalu dari tempatku berhenti. Setelah kurasa usai, kuberbalik arah menuju datangnya rombongan tadi. Benar, telah tiada, namun, kemana perginya mereka? aku kembali menunduk dan menitikan air mata, aku tak sanggup, di tengah hamparan sawah yang panas dan sepi, Ibunda pergi meninggalkanku sendiri entah kemana, setelah beliau bertanya kepada seorang warga. Kuberdoa pada ilahi, kuatkan hambamu ini Tuhan. Terdengar suara manusia di sekitar sini, mataku mencari dan telingaku memfokuskan getaran yang ditangkapnya, tepat di ujung jalan kulihat seorang manusia yang terbungkus kain kafan di masukkan ke dalam galian tanah 2 x 1 meter. Ku sangat terkejut, tubuhku seperti terlempar, aku belum pernah menyaksikan kejadian seperti itu, air mata tumpah di tepi liang lahat, ku pandangi detik demi detik hingga liang tersebut tertutup dengan bunga taman yang bertebaran di atas pusara. Para pelayat meninggalkan makam itu dan aku pun melanjutkan perjalanan menuju rumah duka, almarhum yang telah kusaksikan proses dikebumikannya, memenuhi hasrat hatiku untuk mengantar ia ketempat peristirahatan terakhir.

                                               

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar